contoh teks ceramah singkat konsep manusia dalam al-qur'an
Assalamulaikum wr.wb
Hamdan wasyukronlilah am'ma ba'du
pertama tama dan yang paling utama marilah kita panjatkan puji dan syukur kpda allah yang maha gofur yang nikmatnya tiada terukur walaupun oleh para insinyur apalagi oleh tukang gali kubur. sholawat dan salam marilah kita limpahcurahkan kepada baginda alam, pemimpin anti koupsi yakni habibana wanabiaya muhammad s.a.w, sholawat yang kedua marilah kita limpahakn kepada para sahabatnya keluarganya para tabi'in dan ta'biatnya dan semoga sampai kepada kita selaku umatnya
Konsep
Manusia merupakan salah satu di antara tema sentral yang dibicarakan di
dalam al-Qur’an. Hal ini terindikasi dari beberapa kata yang terdapat
di dalam al-Qur’an yang itu semua berpulang pada makna dan tema yang
satu, yaitu membicarakan manusia. Setidaknya ada empat kata di dalam
al-Qur’an yang mewakili makna manusia: pertama, al-basyar, kedua an-nas,
ketiga al-ins dan keempat al-insan.
Meskipun
memiliki makna yang sama, bukan berarti keempat kata tersebut tidak
memiliki unsur-unsur yang berbeda. Sebab, dalam kaidah dasar ulum
al-Qur’an menetapkan bahwa ayat al-Qur’an terlepas dari pemaknaan
berulang-ulang secara sia-sia.
Kaidah
dasar ini meniscayakan di dalam al-Qur’an, gambaran konsep manusia yang
komperhensif akan didapatkan dengan mengkaji keempat key word tersebut.
Berdasarkan itu, maka tulisan ini mencoba untuk menjelaskan secara
sederhana konsep manusia di dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode
munāsabah āyahbilāyah.
Metode
munasabah adalah metode yang digunakan untuk menangkap makna terdalam
pada satu tema (maudhu’i)[1] dengan cara mengkomparasikan dan
menghubungkan satu ayat dengan ayat lain yang memiliki kesamaan tema.[2]
Dalam hal ini, maka ayat yang di dalamnya terdapat kata al-basyar akan
dihubungkan dengan ayat lain yang juga menggunakan kata al-basyar.
Begitu pun dengan kata-kata lainnya. Hal ini bertujuan –sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas- untuk mengungkap pemaknaan manusia secara
komperhensif yang dibicarakan di dalam al-Qur’an.
Konsep Al-Basyar
Secara
Bahasa, kata al-basyar berasal dari kata basyara-basyran. Di antara
makna dari kata tersebut adalah mengupas. Pemaknaan kata mengupas
tersebut, -jika kita merujuk kepada makna yang diberikan oleh
al-Ashfahani di dalam mufradat al-alFazhal-Qur’an-dikarenakan kata
basyar bisa menjadi al-bisyrah atau al-basyarah yang artinya kulit yang
tampak. Beberapa ahli bahasa kemudian menjelaskan kenapa manusia disebut
dengan kata basyar, karena secara fisik kulit manusia lebih tampak dari
pada rambut/bulu-bulunya. Berbeda dengan hewan yang lebat bulunya atau
sama sekali tidak memiliki bulu.[3]
Makna
al-Qur’an: Berangkat dari makna bahasa ini, maka secara umum ayat yang
menggunakan kata al-basyar menunjukkan manusia secara fisik. Seperti
pada firman Allah surat al-Furqan: 54 dan Shaad: 71. Hal ini diperkuat
pada ayat-ayat lain yang memberikan definisi bahwa al-basyar adalah
wadah fisik yang bersifat materil, membutuhkan makan dan minum dan
menunjukkan siapa saja, baik nabi maupun orang kafir. (al-Anbiya: 1-8)
اقْتَرَبَ
لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مُعْرِضُونَ (1) مَا
يَأْتِيهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلَّا اسْتَمَعُوهُ
وَهُمْ يَلْعَبُونَ (2) لَاهِيَةً قُلُوبُهُمْ وَأَسَرُّوا النَّجْوَى
الَّذِينَ ظَلَمُوا هَلْ هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَفَتَأْتُونَ
السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ (3) قَالَ رَبِّي يَعْلَمُ الْقَوْلَ فِي
السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (4) بَلْ قَالُوا
أَضْغَاثُ أَحْلَامٍ بَلِ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا
بِآَيَةٍ كَمَا أُرْسِلَ الْأَوَّلُونَ (5) مَا آَمَنَتْ قَبْلَهُمْ مِنْ
قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا أَفَهُمْ يُؤْمِنُونَ (6) وَمَا أَرْسَلْنَا
قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ
إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (7) وَمَا جَعَلْنَاهُمْ جَسَدًا لَا
يَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَمَا كَانُوا خَالِدِينَ (8) [الأنبياء/1-8]
Al-Anbiya
(21): 1. Telah dekat kepada manusia perhitungan mereka, sedangkan
mereka lalai dan berpaling. 2. Tidak datang kepada mereka peringatan
baru dari Tuhan mereka melainkan mereka mendengarkannya sambil
bermain-main. 3. dan hati mereka bergurau meremehkan. Dan orang-orang
yang zalim berbicara secara rahasia: Orang ini tidak lain hanyalah
manusia biasa seperti kamu? Apakah kamu akan menerima sihir ini padahal
kamu tahu? 4. Muhammad berkata kepada mereka: Tuhanku mengetahui semua
perkataan, baik di langit maupun di bumi. Dia maha mendengar dan maha
mengetahui. 5. Bahkan mereka berkata: Impian yang kalut! Tidak, dia
mengada-ada, bahkan dia adalah seorang penyair. Maka, suruhlah dia
mendatangkan kepada kita suatu ayat sebagaimana rasul-rasul dahulu
diutus. 6. Sebelum mereka, tiada seorangpun penduduk kota yang kami
binasakan mau beriman. Lalu apakah mereka akan beriman? 7. Kami tidak
mengutus sebelum kamu kecuali hanya orang lakilaki yang Kami berikan
wahyu. Bertanyalah kepada yang masih ingat (ahli dzikr)jika kamu tidak
tahu. 8. Dan Kami tidak membuat mereka tubuh yang tidak makan, dan tidak
pula mereka kekal.
Bahkan
dalam beberapa ayat, orang kafir mempergunakan kata basyar untuk
mengingkari kenabian utusan Allah (al-Mudattsir: 25, al-Qamar: 24, yasin
15, al-Mukminun: 47, at-thaghabun: 6). Hal ini tentu menunjukkan bahwa
basyar di zaman sebelum turunnya al-Qur’an sudah menunjukkan keadaan
manusia secara fisik saja.
إِنْ هَٰذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ
Inihanyaperkataanmanusia (al-Mudattsir: 25)
قَالُوا مَا أَنتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَا وَمَا أَنزَلَ الرَّحْمَٰنُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ
Mereka
(penduduknegeri) menjawab, “kamuinihanyalahmanusiaseperti kami, dan
(Allah) Yang MahaPengasihtidakmenurunkansesuatuapa pun;
kauhanyalahpendustabelaka” (Yasin: 15)
Selain
dari pemaknaan tersebut, terdapat pula ayat perlu diperhatikan bahwa,
kekhususan dan keistimewan nabi yang hanya seorang basyar itu didapatkan
dari wahyu yang diberikan kepadanya:
قُلْ
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ
إِلَهٌ وَاحِدٌفَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا
صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadat kepada Tuhannya. (Al-Kahfi: 110)
Ayat
ini menunjukkan bahwa keadaan manusia tanpa wahyu menjadikannya manusia
yang dipandang secara fisik semata tanpa ada keistimewaannya dibanding
manusia bahkan makhluk-makhluk lain.
Konsep Al-Nas
Para
ahli bahasa berbeda pendapat dalam melihat akar dari kata an-Nas.
Beberapa di antara mereka, menyatakan bahwa al-Nas berasal dari kata
unas yang berasal dari kata anisa yang artinya jinak-menjinakkan/ramah.
Hilangnya hamzah pada kata tersebut disebabkan karena masuknya alif lam.
Berbeda dengan pemaknaan tersebut, ahli bahasa lain berpendapat bahwa
asal kata an-Nas adalah nasiya artinya lupa.[4] Yang lain mengakarkan
pada kata nasa-yanusu artinya bergoncang. Sementara dzu nawwas artinya
yang memiliki keilmuan.[5]
Makna
al-Qur’an: Adapun jika dirujuk pada ayat-ayat yang menggunakan lafal
an-Nas, maka setidaknya didapati tiga makna umum. Pertama an-Nas merujuk
pada makna jenis makhluk. Seperti pada firman Allah surat al-Hujurat:
13 yang menjelaskan bahwa hakikatnya manusia adalah makhluk yang berasal
dari jiwa yang satu yaitu adam.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Wahaimanusia!
Sungguh Kami
telahmenciptakankamudariseoranglaki-lakidanseorangperempuan, kemudian
Kami jadikankamuberbangsa-bangsadanbersuku-suku agar kamusalingmengenal.
Sungguh, yang paling mulia di antarakamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa. Sungguh, Allah MahaMengetahui, MahaTeliti. (
Al-Hujurat: 13)
Pengertian
ini diperkuat pada pemaknaan an-Nas sebagai ummat yang satu dan jenis
yang disejajarkan dengan malaikat pada firman Allah al-Baqarah 161-162
dan 213.
Kedua
makna an-Nas bisa juga berarti adalah manusia dari aspek kelebihannya.
Hal ini bagi Al-Isfhani disebabkan wujudnya akal, dzikir dan akhlak baik
dalam diri manusia. seperti pada surat al-Baqarah: 113:
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا
آمَنَ السُّفَهَاءُ ۗ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَٰكِن لَّا
يَعْلَمُونَ
Dan
apabiladikatakankepadamereka, “Berimanlahkamusebagaimana orang lain
telahberiman!” Merekamenjawab, “Apakah kami akanberimanseperti
orang-orang yang kurangakalsehatberiman?” Ingatlah,
sesungguhnyamerekaitulah orang-orang yang kurangakal,
tetapimerekatidaktahu. (Al-Baqarah: 113)
Makna
ayat ini tidak menunjukkan pada mengikuti manusia sebagai sebuah
makhluk atau entitas, tetapi lebih pada sifat-sifat luhur kemanusiaan
yang dimilikinya.
Adapun
makna ketiga berkaitan erat dengan makna pertama dan kedua. Yaitu bahwa
an-nas menunjukkan perbedaan dan kelebihan manusia di banding makhluk
lainnya. Perbedaannya adalah bahwa manusia tidaklah sama dengan setan
yang hanya didominasi oleh nafsu. Tidak sama pula dengan malaikat yang
tidak memiliki nafsu sama sekali. Perbedaan itu kemudian menjadi
kelebihan jenis manusia dibanding kedua makhluk tersebut.
Konsep Al-Ins
Al-Isfahani
di dalam kitabnya menyebutkan kata al-Ins memiliki akar kata yang sama
dengan al-Insan. Meski demikian, bagi al-Ashfahani al-Ins dan al-Insan
memberikan penekanan yang sama sekali berbeda. Secara bahasa keduanya
memang berasal dari alif nun dan sin, tetapi jika di lihat pada
penggunaan katanya di dalam konteks ayat-ayat maka al-Ins, oleh beliau
diartikan khilaful jinni (makhluk yang berbeda dari jin).[6]
Adanya
makna tersebut merupakan hasil dari adanya kenyataan bahwa kata al-Ins
selalu disandingkan dengan al-Jinn tetapi tidak menunjukkan kesamaan
melainkan justru perbedaan. Seperti pada Surah Al-An’amayat 128:
ويَوْمَ
يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ
الْإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ
بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ
النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ
رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ.
Dan
(ingatlah) padahari ketika Dia mengumpulkan mereka semua (dan Allah
berfirman) “Wahai golongan Jin! Kamu telah banyak menyesatkan manusia.”
Dan kawan-kawan mereka dari golongan manusia berkata, “YaTuhan, kami
telahsaling mendapatkan kesenangan dan sekarang waktu yang telah Engkau
tentukan buat kami telah dating. “Allah berfirman, “Nerakalah tempat
kamu selama-lamanya, kecuali jika Allah berkehendak lain. “Sungguh,
Tuhanmu Maha Bijaksana, Maha Mengetahui.
Ayat
di atas, menunjukkan perbedaan antara jin dan manusia. sebab jin pada
pengertiannya adalah makhluk yang menyesatkan al-ins (manusia). hal ini
kemudian menjadi dasar bintu Syati di dalam tafsirnya at-tafsir al-bayan
li al-Qur’an al-Karim menafsirkan bahwa sifat manusia harusnya berbeda
dengan sifat jin yang dalam hal ini telah membangkang oleh Allah
sehingga mempunyai pekerjaan menyesatkan. Jika ditarik makna ini lebih
jauh, maka manusia yang telah disesatkan oleh jin pada hakikatnya telah
jauh dari fitrah kemanusiaanya.[7]
Konsep Al-insan
Sementara
kata al-Insan, meskipun bukan kata yang paling banyak tersebutkan dalam
al-Qur’an, tetapi memiliki porsi yang cukup luas dalam menjelaskan
konsep manusia menurut al-Qur’an. Secara bahasa, al-Insan –sebagaimana
yang dikutip oleh al-Isfhani adalah:
سمي بذلك لأنه خلق خلقه لا قوام له إلا بإنس بعضهم ببعض
(Dikatakan
(al-insan) karena dia adalah makhluk yang diciptakan yang tidak bisa
hidup kecuali bersama dengan manusia lainnya).[8]
Dapat
dijelaskan bahwa kata al-Insan mewakili manusia sebagai makhluk yang
tidak bisa mempertahankan eksistensinya sendiri. dalam arti semenjak
proses penciptaan, proses keberlangsungan hidup hingga nanti proses
setelah kematian, manusia adalah makhluk yang menggantungkan dirinya dan
memerlukan lainnya.
Makna
al-Qur’an: Makna bahasa ini, bagi penulis kemudian menemukan
perwujudannya dalam tiga pemakanaan yang terdapat dalam al-Qur’an.
Pertama al-Insan itu menunjukkan bahwa manusia itu diciptakan dengan
bergantung kepada Allah. Kedua manusia itu diciptakan dengan membutuhkan
pengetahuan dan manusia diciptakan dengan berbagai macam kekurangan.
Makna pertama bisa ditarik dari firman Allah:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Ayat
yang pertama kali diturunkan Allah ini mengindikasikan dengan jelas
bahwa manusia itu pada mulanya diciptakan Allah berupa sesuatu yang
bergantung. Secara filosofis bisa diartikan eksistensi manusia tidak
akan bisa terwujud tanpa ada Allah dan manusia sendiri di dalam proses
kehidupannya akan selalu bergantung pada kekuasaan tuhannya.
Dengan
adanya kesadaran tersebut, maka kata al-Insan yang disebutkan dalam
ayat yang menjelaskan proses penciptaan manusia pada hakikatnya tidak
hanya bertujuan menunjukkan manusia dari segi fisiknya belaka, melainkan
lebih kepada bagaimana manusia itu menyadari kekuasaan Allah atas
dirinyaa sehingga manusia itu mengakui bahwa dia bergantung pada Zat
yang menciptakannya:
فَلْيَنْظُرِ
الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ (5) خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ (6) يَخْرُجُ
مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ (7) إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ
لَقَادِرٌ (8)
Al-Tariq
(86): 5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia
diciptakan? 6. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, 7. yang keluar
dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. 8.
Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup
sesudah mati). (Al-Tariq ayat 5-8)
Berhubungan
dengan pemaknaan pertama, maka makna kedua bisa dijelaskan bahwa untuk
menyadari ketergantungan manusia kepada penciptanya, maka al-Insan itu
diberikan anugrah Allah berupa ilmu pengetahuan. Sehingga harusnya
pengetahuan itu menjadi kebutuhan, di mana kebutuhan pokok dari keilmuan
itu adalah untuk mengenal Allah dan menyadari kebutuhan kita akanNya:
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2)
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4)
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)
Adapun
perwujudan makna al-Insan yang ketiga di dalam al-Qur’an adalah bahwa
manusia itu makhluk yang bergantung disebabkan manusia memiliki potensi
merugi.
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
Kerugian
tersebut bisa terjadi lantaran di dalam diri manusia –sebagaimana
pemaknaan al-Nas- memiliki sifat-sifat tidak terpuji dan bisa membawa
kepada penyesalan dan keburukan. Di antara sifat tersebut adalah suka
membantah(yasin 77-79, an-nahl: 4), lemah(an-nisa 28),
tergesa-gesa(al-Isra: 11), tidak pandai bersyukur(al-Isra: 67), mudah
berputus asa(al-Isra: 83), suka bangga dan sombong(Hud: 9-11), suka
mengeluh dan kikir(al-Ma'arij: 19-21), suka membantah(18: 54),
kebanyakan tidak mau tahu(33: 72), zhalim dan suka berbuat
bodoh(az-Zumar: 49), suka beralasan(al-Qiyamah: 14), senantiasa dalam
keadaan susah payah (al-Balad: 4)
Kekurangan-kekurangan
inilah yang sejatinya bisa menjadikan manusia berada pada kerugian.
Sementara kerugian itu disebutkan dalam al-Qur’an dengan istilah asfala
as-Safilin. Adapun jika manusia memahami ketergantungannya kepada Allah,
kepada pengetahuan akan Allah dan segala tindakan yang bisa
menjurumuskannya dalam potensi-potensi buruk, maka manusia itu bisa
kembali pada penciptaannya yang fitrah dan unggul, atau yang
diistilahkan al-Qur’anahsanitaqwim.
Berdasarkan
keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa: Manusia di dalam al-Qur’an
diwakili dengan empat kata: al-Basyar, al-Nas, al-Ins dan al-Insan
Al-Basyr
menggambarkan manusia sebagai manusia secara fisik, wadah materil yang
butuh makan dan minum dan menunjukkan manusia jenis apa saja, baik Nabi
maupun kafir
Al-Nas
memiliki tiga pemaknaan. Pertama: menunjukkan jenis makhluk yang
bernama manusia. kedua: manusia tidak sebagai entitas secara fisik
tetapi sifat-sifat. Ketiga manusia makhluk yang berbeda karena memiliki
potensi menjadi baik dan menjadi buruk
Makna al-Ins merujuk pada makna berbeda dari Jinn dalam arti negatif
Makna
al-Insan yang merujuk pada hakikat manusia sebagai makhluk yang
diciptakan Allah, bergantung pada Allah, membutuhkan ilmu pengetahuan
untuk mematuhi Allah dan menjauhkan diri dari potensi-potensi kerugian
Jika
hendak diambil benang merah dari semua kata tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa manusia di dalam al-Qur’an tidak hanya bersifat basyar
saja. tetapi an-nas yang memiliki potensi baik dan buruk. Hakikatnya
manusia harus menjadi al-Ins yang tidak tersesat oleh al-Jinn. Untuk itu
maka manusia harus menghayati dirinya sebagai al-Insan di mana potensi
keburukan dan kerugiannya dijauhi dengan cara menyadari
ketergantungannya kepada Allah melalui pengetahuannya kepada Allah dan
mengaplikasikan pada tindakan untuk menghindari segala potensi keburukan
dalam diri. Ketika manusia tidak bisa seperti itu, maka berarti manusia
tersebut tidak terbimibing oleh wahyu. Akibatnya manusia hanya menjadi
basyar secara fisik yang tidak berbeda dari makhluk lainnya bahkan jatuh
pada derajat asfalas as-safilin. Namun ketika manusia mampu melakukan
proses tersebut, berarti ia merupakan basyar yang istimewa karena
mengikutiwahyu, dengan begitu ia berada pada derajat ahsani taqwim.
Baca Juga:
Baca Juga:
Catatan Kaki
[1]Abd. MuinSalim, MetodologiIlmuTafsir (Yogyakarta: Teras, 2010) hlm, 47
[2]Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidayah fi al Tafsir al-Maudhu’i (Mesir: Maktabah al Jumhuriyat, 1977), hlm 55-56
[3]Al Raghibal-Ashfahani, Mufradatal-Alfazhal-Qur’an,(Beirut: DarulIlmi, 1412 H), hlm. 124
[4]Al Raghibal-Ashfahani, Mufradatal-Alfazhal-Qur’an,(Beirut: DarulIlmi, 1412 H), hlm. 828
[5]Sahabuddin., (ed.). Ensiklopedi Al-Quran :KajianKosakata, (Jakarta : LenteraHati, 2007), Cet. I, hlm. 1040
[6]Al Raghibal-Ashfahani, Mufradatal-Alfazhal-Qur’an,(Beirut: DarulIlmi, 1412 H), hlm. 94
[7]AisyahBintusySyati, ManusiaDalamPerspektif AL-Qur‟an, (Jakarta: PustakaFirdaus,), hlm. 14
Casino Table Games - Mapyro
BalasHapusA full deck of 문경 출장샵 52 classic 서울특별 출장샵 American poker table games including Texas Hold'em, Texas 오산 출장샵 Hold'em, Omaha Hi-Lo 목포 출장샵 and Seven Card 강원도 출장샵 Stud.